BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari
sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh
perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan
interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang
mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan
oleh emotional quotient. Bagaimana
dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang
sedang duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi
penting yang mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah
menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita
percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu
menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat
istiadat. Bagi Indonesia sekarang
ini, pendidikan karakter
juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk
membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia
bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan
karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih
baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri,
tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang
tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di
tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat
berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri
dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DASAR PEMIKIRAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Sebelum berbicara lebih jauh tentang
Pendidikan Karakter, Pastikan bahwa anda mengerti terlebih dahulu apasih yang
dimaksud dengan Pendidikan Karakter Bangsa. Untuk menjawab perhal ini, silahkan
sobat Belajar membaca postingan saya sebelumnya tentang Pengertian atau Definisi
Pendidikan Karakter Bangsa. Kalau sudahm maka mari kita lanjut
dengan Dasar Pemikiran mengapa Pendidikan Karakter itu begitu penting.
Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pasal 31 ayat (3) uud 1945 amandemen:
“pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdas-kan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Undang-undang
nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 3: “pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Uu no. 14/2005 tentang guru & dosen - tugas utama guru :
1. Mendidik,
2. Mengajar,
3. Membimbing,
4. Mengarahkan,
5. Melatih,
6. Menilai dan
7. Mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (ps.1:1). Mendidik
berarti, menanamkan nilai-nilai yang baik menata: hati, pikiran dan sikap
mental (harus diawali dari diri sendiri), Mengajar berarti, memberikan
pengetahuan/bekal (yang bermanfaat) dalam menghadapi kehidupan, Membimbing
berarti, menuntun ke arah tujuan yang telah ditetapkan (harus jelas),
Mengarahkan berarti, menunjukkan kepada pilihan yang terbaik, Melatih berarti,
membiasakan peserta didik melakukan sesuatu yang baik secara benar dan
melakukan sesuatu yang benar secara baik, Menilai dan mengevaluasi berarti,
menghitung dan mengukur proses dan hasil kerja kita, apakah tujuan yang ingin
kita raih sudah sesuai/tercapai atau belum.
B.
PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER
Inilah produk dari pendidikan yang
selama ini hanya dipusatkan pada sisi akademis dan kurang memperhatikan sisi
karakter. Semua pihak seolah hanya ingin mengejar nilai, rangking atau medali
Olimpiade sementara proses pembentukan karakter yang sesungguhnya jauh lebih
penting dari prestasi akademis terabaikan. Akibatnya siswa hanya tumbuh menjadi
orang yang pintar tapi tidak berkarakter dan ini sangat berbahaya ketika mereka
berada di masyarakat. Dengan hanya berbekal kepintaran tanpa ada karakter yang
mengendalikannya, tidaklah mengherankan semakin banyaknya terjadi tawuran dan
perundungan di sekolah serta semakin masif dan sistematiknya korupsi dan
manipulasi diberbagai bidang kehidupan.
1. Pendidikan Karakter Memiliki Visi
Jangka Panjang
Pendidikan karakter merupakan suatu proyek pendidikan
jangka panjang karena sesuai dengan makna dari asal katanya, karakter adalah
proses untuk mengukir nilai-nilai yang dianggap baik ke dalam hati sanubari
siswa. Oleh karena itu, sekali terukir akan butuh waktu yang lama untuk dapat
mengubahnya. Karakter tidak sama dengan moral, akhlak, norma atau budi pekerti
karena karakter langsung digerakkan oleh otak. Karakter seseorang dapat
ditunjukkan oleh bagaimana dia bersikap ketika dia tahu tidak ada seorangpun
yang melihatnya. Sikap ini akan bersifat otomatis karena langsung digerakkan
oleh otak. Selain itu, faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan karakter di
sekolah adalah beratnya beban kurikulum yang ada saat ini. Dengan banyak jumlah
mapel yang ada saat ini dapat dipahami bagaimana sulitnya guru untuk
menyediakan waktu untuk pendidikan karakter.
2. Tiga Peran Seorang Guru
Berbeda dengan materi akademis, dalam
mengajarkan pendidikan karakter seorang guru harus memainkan 3 peran
sekaligus yaitu: sebagai pemberi perhatian (caregiver), sebagai teladan/panutan (model)
dan sebagai pembimbing (mentor). Sangatlah tidak mudah bagi seorang guru untuk dapat memainkan
ketiga peran itu dengan baik sehingga dukungan dari semua pihak sangat
dibutuhkan. Masalahnya semakin rumit karena sering kali siswa melihat sesuatu
yang berlawanan dengan nilai-nilai baik diajarkan di sekolah. Misalnya saat
guru Matematika menekankan pentingnya nilai kejujuran tapi yang dijumpai oleh
siswa di masyarakat adalah kebalikkanya yaitu makin maraknya para koruptor dan
manipulator menguras uang rakyat. Namun bagaimanapun juga, saat ini pendidikan
karakter adalah satu-satunya solusi yang bisa membawa kita keluar dari masalah
yang kita alami saat ini meskipun kita juga sadar bahwa semuanya ini butuh
waktu dan usaha yang tidak mudah. Keterlibatan semua guru dari semua mapel
adalah kunci utama untuk keberhasilan melaksanakan pendidikan karakter di
sekolah. Guru harus mengajak siswa untuk menggali nilai-nilai baik yang
terkandung dalam setiap mapel. Penekanan pada makna dari suatu mapel terhadap
kehidupan sehari-hari adalah kunci yang utama. Dengan memahami makna dari setiap
mapel yang diajarkan, seorang siswa dapat memperoleh pemahaman yang utuh dan
menyeluruh baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor
sehingga siswa tahu mana yang baik, bisa merasakannya dan pada akhirnya mau
melakukannya.
3.
Tak Hanya
Pintar, Melainkan Pula Berkarakter
Sebagai penutup perlu ditekankan kembali bahwa tujuan pendidikan bukanlah hanya untuk menjadikan seseorang menjadi pintar tapi juga menjadi baik dan berkarakter. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidilan harus mau mengubah tujuan yang semula hanya mengejar nilai akademis sekarang harus memprioritaskan pendidikan karakter. Percayalah untuk membuat seseorang jadi pintar jauh lebih mudah dan cepat dari pada untuk membuat seseorang jadi baik dan berkarakter. Pintar tidaklah cukup tapi harus dilengkapi juga dengan karakter yang baik.
C.
Hakikat daan Tujuan Pendidikan Karakter
1. Pendidikan
Menurut Purwanto, pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam
pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya
ke arah kedewasaan.[1] Dari pemaparan tersebut maka diperoleh dua
komponen yang saling terikat satu dengan lainnya yaitu orang dewasa dan
anak-anak. Bila dianalogikan secara sederhana, seorang dewasa mempunyai peran
sebagai sopir yang hendak mengantarkan penumpangnya ke suatu tujuan yang hendak
dicapai. Sedangkan yang bertindak sebagai penumpang di sini adalah
anak-anak/siswa yang berhak mendapat pengetahuan dan pengalaman baik yang belum
dimiliki maupun telah dimiliki sebagai modal pada proses pendidikan yang
bermuara pada proses pembelajaran di suatu lingkup/satuan pendidikan tertentu.
Adapun kendaraan yang dikendarai merupakan alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan pada proses pendidikan yang hendak dikembangkan (indikator) pendidikan
yang hendak dicapai. Adapun muara dari proses pendidikan di sini adalah
kedewasaan siswa (peserta didik) yang melaksanakan proses pendidikan dengan
bantuan dan pendampingan dari orang dewasa (pendidik).
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan
potensi siswa.[3] Usaha sadar berarti bahwa apa yang dilakukan
(dalam proses belajar) merupakan rangkaian proses kegiatan yang pada dasarnya
merupakan skenario (yang direncanakan oleh perencana/perancang) proses
pembelajaran. Usaha sadar juga dapat diartikan bahwa, pada dasarnya siswa
menyadari adanya suatu proses perubahan maupun penambahan pengalaman yang
terjadi pada proses pendidikan dengan bermuara pada proses pembelajaran pada
lingkup tertentu. Sistematis merupakan tahapan pada suatu proses yang akan
dijalankan guna pencapaian sebuah indikator ketercapaian.
Dari uraian di atas dapat dipaparkan bahwa pendidikan bukan merupakan
suatu hal/isu baru yang terjadi pada proses kehidupan individu pada saat
sekarang ini, sejak pertama adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah
komunitas, maka di situlah proses pendidikan terjadi. Selama ada sekumpulan
individu yang berada pada sebuah komunitas tertentu, maka dapat dipastikan pada
komunitas tersebut terjadi proses pendidikan, bahkan secara individu sekalipun
proses pendidikan dipastikan terjadi secara terus-menerus. Proses
pendidikan dapat terjadi ketika individu mengalami sebuah kejadian di mana rasa
keingintahuannya muncul. Rasa ingin tahu ini muncul ketika individu tidak atau
belum mampu memahami suatu peristiwa/pengalaman yang belum pernah dialami
sebelumnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu (inquiry)
dari dalam dirinya. Berawal dari rasa ingin tahu tersebut, maka proses
pendidikan terjadi yang bermuara pada cara mereka untuk mempelajari sesuatu/hal
baru yang belum pernah dialaminya. Dalam kurun waktu yang tidak dapat
ditentukan pula, setiap individu akan mengalami proses perkembangan dalam hal
pengetahuan yang mereka miliki sehingga dari hari ke hari pengetahuan individu
pastinya akan bertambah. Pendidikan merupakan cara yang dilakukan untuk
melengkapi kekurangan yang dimiliki individu agar dapat menutupi kekurangan
tersebut melalui proses belajar.
Pendidikan
merupakan sebuah cara/tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu titik
keteraturan yang elegan dan bersifat dinamis. Pendidikan berarti sebuah proses
pengembangan diri pada individu untuk mengembangkan bakat, minat, dan
kemampuan baik secara akademis maupun non-akademis yang dikembangkan dalam
lingkungan pendidikan, baik secara formal, non-formal, maupun informal.
Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi
yang bertujuan memberdayakan diri.[9] Dalam artian ini, banyak hal yang perlu
dibicarakan menyangkut pendidikan sebagai proses. Proses pemberdayaan diri
menyangkut penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan tingkah laku
para siswa yang menjalani proses pendidikan tersebut. Melalui pendidikan, siswa
diberikan pengalaman baik yang pernah maupun belum pernah dialami pada proses
kehidupan untuk menjadikan manusia yang berdaya guna dan berintelektualitas
tinggi secara holistik.
Berdasarkan
pemaparan pendidikan yang telah dibahas, maka dapat disintesakan bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar,
terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhadap anak (siswa)
untuk mencapai satu tujuan tertentu. Paradigma lama menganalogikan pendidikan
sebagai sebuah proses instruksional di mana seorang dewasa berusaha memimpin
anak (siswa) dalam mencapai proses kehidupan yang lebih baik melalui proses
pendidikan itu sendiri. Adapun proses pendidikan yang merupakan paradigma
modern merupakan satu bentuk usaha untuk menjadikan seseorang (siswa)
untuk berusaha melalui bimbingan dan bantuan orang dewasa agar dapat memberdayakan
diri sesuai minat, bakat, dan sumber daya yang dimiliki.
2.
Karakter
Karakter
merupakan bentuk turunan dari bahasa latin yaitu kharassein dan
kharax yang dapat diartikan sebagai tools
for making (alat untuk membuat sesuatu).[10] Kata ini mulai marak digunakan dalam bahasa
Perancis caractere pada abad ke-14 yang pada akhirnya diadaptasi
ke dalam bahasa indonesia menjadi sebuah kata yaitu “karakter”.[11] Definisi lainnya secara sederhana diungkapkan
Hornby dan Parnwell dalam Hidayatullah yang merngartikan karakter sebagai
kualitas mental/moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.[12]
Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara
progresif dan dinamis, integrasi dan tindakan.[13] Stabil merujuk pada satu pola/cara pandang
maupun sikap yang merupakan implementasi sebuah ketetapan/konsistensi dalam
melakukan dan mengambil keputusan tertentu yang melibatkan cara pikir,
pengambilan keputusan, dan melakukan tindakan atas apa yang telah dipikirkan
dan diputuskan. Proses konsolidasi yang dilakukan merupakan bentuk implementasi
perpaduan antara pergaulan individu dalam lingkup/lapisan sosial tertentu
dengan sikap pribadi di mana kemampuan dan keteguhan hati individu diuji untuk
menentukan aspek mana yang harus dilakukan dan diputuskan oleh individu
tersebut.
Suwondo memberikan pandangan berbeda yang menyatakan bahwa karakter
merupakan gabungan dari pembawaan lahir dan kebiasaan yang kita dapatkan dari
orang tua dan lingkungan kita, yang secara tidak sadar mempengaruhi seluruh
perbuatan, perasaan, dan pikiran kita.[16] Jadi, dapat ditarik satu benang merah yaitu
pada dasarnya karakter merupakan satu bentuk implementasi pemikiran dan cara
berpikir individu dalam memandang, menentukan, menginterpretasikan,
mendeskripsikan, menyimpulkan, dan mengambil suatu tindakan yang terbentuk
karena proses kontinuitas secara signifikan melalui proses belajar individu,
sosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat maupun individu lain, yang
akhirnya membentuk pola pikir dan cara pandang pada masing-masing individu.
Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan yang dilakukan melalui implementasi
proses kehidupan baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh individu
yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter, kecenderungan
keterlibatan lingkungan (faktor eksternal individu) memegang peranan penting
dalam proses pembentukan karakter seseorang.
Mengimplementasikan
dan mengembangkan satu bentuk/tatanan yang merupakan perwujudan proses
pendidikan karakter bukan merupakan sebuah proses instan yang terjadi begitu
saja dan dapat langsung dilihat hasil dari pendidikan karakter tersebut.
Dibutuhkan waktu, tenaga, dan banyak hal lainnya yang saling mendukung untuk membentuk
dan mengembangkan tatanan karakter yang baik agar tercipta sebuah generasi yang
memiliki pola pikir dan pandangan yang luas dan bijaksana sehingga melahirkan
generasi berbudi pekerti luhur serta mampu mengendalikan emosi dengan baik agar
tercipta karakter yang kuat bagi individu tersebut.
Berdasarkan paparan definisi karakter, dapat disintesakan bahwa karakter
adalah bentuk/perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang
lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta
dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup
kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga,
maupun sekolah. Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada
pembentukan karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu
dengan lainnya.
3.
Komponen
Pendidikan Karakter
Williams dan Megawangi memandang proses pendidikan karakter merupakan
proses pembentukan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action).[25] Integrasi diantara ketiganya akan menciptakan
satu bentuk/tatanan terpadu yang bermuara pada proses pembentukan karakter.
Siswa sebagai subyek pendidikan di sekolah perlu diberikan satu pengalaman dan
pembelajaran yang mencakup aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Dengan
modal pengetahuan, siswa dapat memiliki ilmu pengetahuan agar siap digunakan
sebagai bekal pada proses kehidupan yang akan dialami di masa yang akan datang.
Melalui perasaan, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas akan dikendalikan dan
dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek emosional. Adapun tindakan yang
dihasilkan merupakan perwujudan dari proses pengembangan pengetahuan (cognitive)
melalui pertimbangan perasaan (feeling). Secara tersirat
dapat diambil satu konsep pemikiran bahwa proses pendidikan yang bermuara pada
pembelajaran (baik secara kurikuler, ekstra kurikuler, maupun ko-kurikuler)
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yang melibatkan ketiga aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ketiganya merupakan satu integrasi yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Hal senada dikatakan Munir bahwa kebiasaan yang dilakukan secara
berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi
karakter seseorang, gen hanya menjadi salah satu faktor penentu saja (bukan hal
mutlak dalam penentuan dan penciptaan suatu karakter).[26] Bila disintesakan, apa yang dipaparkan Yahya
dengan Munir terdapat satu benang merah bahwa pendidikan karakter akan dapat
terlaksana secara optimal bila proses pendidikan yang berafiliasi pada
pendidikan karakter dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Melalui
pembiasaan inilah, karakter individu terbentuk.
Dapat disintesakan berdasarkan pemaparan Lickona tersebut bahwa ketiga
konsep yang membangun karakter seseorang melalui proses pendidikan di atas
bukan merupakan komponen yang berbeda dan memisahkan satu dengan lainnya.
Ketiganya merupakan satu kesatuan dalam sebuah sistem. Untuk membangun sistem
itu sendiri agar kuat dan kokoh diperlukan satu upaya agar ketiga unsur
tersebut dapat diimplementasikan dan dilakukan individu pada proses kehidupan
mereka, sehingga karakter individu dimaksud dapat terbangun, terpelihara,
berkembang, dan kuat.
Pada sumber yang berbeda Lickona dalam Zubaedi menyatakan bahwa karakter
berkaitan erat dengan konsep moral (moral knowing),
sikap moral (moral feeling), dan perilaku
moral (moral action).[30] Berdasarkan ketiga komponen tersebut, daat
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan,
keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan baik. Berdasarkan
pembagian karakter dalam tiga komponen oleh Lickona di atas untuk kemudian
dikembangkan dalam masing-masing subkomponen sesuai komponen masing-masing. Moral
knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana seorang
individu mengetahui sesuatu nilai yang abstrak yang dijabarkan dalam 6 sub
komponen, antara lain: (a) moral awareness (kesadaran
moral); (b) knowing moral values (pengetahuan nilai moral);
(c) perspective-taking (memahami sudut pandang lain);
(d) moral reasoning (penalaran moral); (e) decision-making (membuat
keputusan); (f) self-knowledge
(pengetahuan diri). Moral feeling (sikap moral)
merupakan tahapan tingkat lanjut pada komponen karakter yang dijabarkan dalam 6
sub komponen, antara lain: (a) Conscience (nurani);
(b) Self-esteem (harga diri); (c) Empathy (empati);
(d) Loving the good (cinta kebaikan); (e) Self-control (kontrol
diri); (f) Humility (rendah hati).
Moral action (perilaku moral) dibangun atas 3 sub komponen antara
lain: (a) Competence (kompetensi);
(b) Will (keinginan); (c) Habit (kebiasaan).
Secara prinsip, konsep pengembangan karakter dalam satuan pendidikan di
Indonesia sendiri berafiliasi pada prinsip pengembangan “olah hati, olah pikir,
olah rasa, dan olah raga”.[34] Olah hati menghasilkan satu sikap dan
tindakan untuk berkata, bersikap, dan berperilaku jujur dan apa adanya tanpa
menutupi, menambah, dan mengurangi atas sesuatu yang memang harus disampaikan.
Olah pikir dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir cerdas dan merasakan
haus akan pengetahuan (membutuhkan pengetahuan) baru. Implikasi dari olah pikir
ini akan menghasilkan kemampuan inquiry dan bermuara pada
prinsip ilmiah bagaimana mencari dan menemukan satu pengetahuan dan pemahaman
terkait dengan apa yang sedang dipelajari (bukan diberikan melalui proses
pembelajaran secara sistematis dan pasif). Olah rasa merupakan bentuk
implementasi dari adanya keinginan siswa untuk berharap dan memiliki cita-cita.
Implikasi dari olah rasa mendorong siswa lebih optimis dalam meraih dan
mempersiapkan masa depan yang terencana dan dipersiapkan dengan baik oleh siswa
itu sendiri (bukan orang tua, guru, lingkungan, maupun komponen lainnya yang
berhubungan dengan siswa). Olah raga merupakan merupakan operasional yang
dilakukan untuk senantiasa menjaga kondisi tubuh dan stamina agar siswa dapat
melaksanakan proses persiapan meraih cita-cita dan tujuan yang telah
direncanakan (olah rasa) sehingga siswa lebih mudah memperhatikan keempat aspek
yang memang sangat berpengaruh satu dengan lainnya.
Berdasarkan pemaparan mengenai pendidikan karakter beserta komponen
pembangunnya, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
karakter dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu
yang dilakukan seorang dewasa terhada anak (siswa) untuk mencapai suatu tujuan
tertentu sesuai rencana yang dibuat sebelumnya dengan merujuk pada satu
perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui
proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan
dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang
dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah.
Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada pembentukan
karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu dengan lainnya.
Adapun komponen pembentuk karakter itu sendiri terdiri atas: religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab.
4.
Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan
Pancasila. Pendidikan karakter
berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan
dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
D.
PENDEKATAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pendekatan Pendidikan
Karakter, Strategi, Tahap Pelaksanaan, Metode dan Keyakinan Dasar PK
>> Dalam menerapkan atau mengimplementasikan Pendidikan Karakter Bangsa
di sekolah, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan persiapkan guna
mencapai tujuan utama dari Pendidikan Karakter itu sendiri.
Kita akan memulai dengan Pendekatan
Pendidikan Karakter, Strategi yang diperlukan dalam penerapannya, Tahap
Pelaksanaan dan metode-metode yang diperlukan selama proses pengintegrasian
PK.
1)
Pendekatan
PK
Diperlukan
beberapa pendekatan agar PK dapat berjalan dengan baik nantinya yang diantaranya
adalah:
a)
Keteladanan
b)
Kegiatan
c)
Penugasan
(pendampingan)
d)
Pembiasaan
e)
Ko-kreasi
(keterlibatan aktif siswa)
ciri-cirinya:
·
melibatkan
secara aktif kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua
·
hubungan
subyek-subyek
·
belajar
bersama
·
proses
yang baik untuk menjamin hasil yang baik
2)
Strategi
implementasi PK
Melakukan sesuatu jangan diawali dengan
hal yang besar karena hanya akan menambah beban. Mulailah dengan hal yang
sederhana dan merasakan bahwa Penerapan PK di sekolah adalah hal yang
menyenangkan. Berikut beberapa strategi yang diperlukan:
·
Kegembiraan
baru, bukan beban baru
·
Mulai
dengan yang mudah, murah dan mengembirakan
·
Mulai dari
diri sendiri
·
Berbagi
dan berbagi
·
Apresiasi
dan apresiasi
3)
Tahap pelasanaan di lapangan
·
Mencerahkan
dan menguatkan keyakinan
·
Mengembangkan
gagasan bersama-sama
·
Menyusun
rencana tindakan
·
Implementasi
rencana tindakan
·
Mengamati
perubahan
4)
Metode-Metode
yang mungkin diperlukan
Multi metode, terutama yang menyentuh
hati. Karena sesungguhnya pendidikan karakter adalah mengelola hati.
Contoh-contoh kegiatan :
1.
Merumuskan dan mewujudkan ciri-ciri kelas yang
dibanggakan
2.
Membangun
harapan & komitmen siswa
3.
Merumuskan
profil manusia berkarakter
4.
Menyusun
dan melaksanakan pedoman perilaku
5)
Keyakinan
Awal dan Akhir
Untuk melangkah, kita harus terlebih
dahulu memiliki keyakinan yang teguh guna menuntuk kita dalam menerapkan PK di
kelas kita, diantaranya kita harus yakin bahwa:
·
Pada
dasarnya, anak itu baik & memiliki potensi kebajikan.
·
Potensi
itu akan tumbuh dan berkembang jika dipupuk & dipelihara.
·
Pemupukan
& pemeliharaan potensi itu akan efektif bila dilakukan melalui:
keteladanan, pendidikan, pendampingan dan pembiasaan.
Jadi kalau
ada anak/peserta didik yang tidak baik, pasti ada yang salah (something wrong).
Dengan memiliki Keyakinan yang teguh, maka kita akan dapat mengarahkan diri
sendiri dan siswa nantinya.
E.
CIRI DASAR, SASARAN, DAN BASIS DESIN
PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Ciri Dasar
Ada sebuah kata
bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh.
Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah
buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal
nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan
lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan
lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Jadi,
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan
nilai-nilai karakter pada anak didik. Ada 4 (empat) ciri dasar pendidikan
karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman
yang bernama FW Foerster.
Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap
nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada
norma tersebut.
Kedua,
adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu
anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah
terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
Ketiga,
adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar
sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu
mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan.
Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang
baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi
pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar
dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan
nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling
membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan
pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki
karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard
University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata
ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill)
saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard
skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini
terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anakdidik. Berpijak pada
4 (empat) ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam
pola pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman
sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan
peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan
apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport
anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik
akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Pendidikan
karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan,
dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan
masyarakat sekitar, juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan
begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan
karakter.
2. Sasaran Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter tidak hanya bisa diberikan di sekolah tapi di
lingkungan keluarga juga ikut berperan. sebagai orang tua bisa memberikan
contoh keteladanan kehidupan bermasyarakat atau mengikut sertakan anak dalam
pendidikan Agama yang berada di masyarakat.
Pendidikan karakter sebaiknya diberikan sejak dini, Karena anak usia
0 - 6 tahun Otak berkembang sangat cepat hingga 80%. Pada usia tersebut Otak
menerima dan menyerap informasi tidak dilihat baik dan buruknya. Itulah masa
masa dimana perkembangan fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk.
banyak yang menyebut masa masa tersebut masa emas ( golden age ). Oleh kerena
itu sebagai orang tua kita harus memberikan pendidikan karakter yang baik bagi
anak, kadang sebagai orang tua kita tidak sadar bahwa sikap kita pada anak
justru akan menjatuhkan anak tersebut, contohnya : Dengan memukul, memberikan
pressure yang akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau
minder, penakut dan tidak berani menanggung resiko. Dan karakter karakter
tersebut akan dibawa hingga dewasa.
Karakter akan terbentuk dari
3 hasil pemahaman hubungan yang pasti dialami setiap manusia, yaitu
hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan
sosial dengan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap
hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan pemahaman yang akhirnya
menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut
akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman yang negatif akan
berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan
memperlakukan dunianya secara positif.
Keteladanan dari orang tua
untuk membentuk karakter anak sangatlah penting, karena anak lebih suka meniru
dari sikap orang tuanya dikarenakan waktu berkumpul anak dengan orang itu lebih
banyak dari pada mendapatkan dari pendidikan formal, sedangkan kalau dari
pendidikan formal biasanya bersifat teori, tentunya tidak bisa menjadi contoh
dalam lingkungan sosial. Pendidikan karakter merupakan salah satu jawaban
terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, di dengar dan
dirasakan, yang mana banyak persoalan yang muncul yang diindentifikasi
bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral
terhadap pesertadidiknya.
Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Apapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, dan kebijakan sekolah.
Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Apapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, dan kebijakan sekolah.
3.
BASIS DESAIN
PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter jika ingin
efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya.
Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi
wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini
berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar
di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas
kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog,
melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan
peserta didik yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan
pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini,
termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen
kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana
belajar yang nyaman. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah.
Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak
didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan
terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak
cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral
ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata
peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas (pemerintah). Dalam
mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar
lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga
memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam
konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum,
ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal,
negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai
makna tatanan sosial bersama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan bukan merupakan
suatu hal/isu baru yang terjadi pada proses kehidupan individu pada saat
sekarang ini, sejak pertama adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah
komunitas, maka di situlah proses pendidikan terjadi.Sedangkan karakter adalah sikap pribadi
yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi
dan tindakan. pendidikan karakter dalam penelitian ini adalah suatu usaha
sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhada anak
(siswa) untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai rencana yang dibuat
sebelumnya dengan merujuk pada satu perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan
diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar
individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing
individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di
lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah.
B.
Saran-Saran
Keterpaduan Pendidikan Karakter adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan Karakter diharapk menjadi
kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah
untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya Lingkungan sekolah
yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan
sekolah agar menjadi lingkungan yang positif. Guru harus disiplin lebih dulu
siswa pasti akan mengikuti disiplin
DAFTAR PUSTAKA
http://wartalambar-online.blogspot.com/2011/09/pendidikan-karakter-untuk-siapa.html
Puskur.2009.Pengembangan dan
Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa. Bandung : Pedoman Sekolah.
Betguru Tips Of The Day jeetwin jeetwin 온라인카지노 온라인카지노 765Find nearest casino to me with slot machines
BalasHapus