Minggu, 17 November 2013

pendidikan berkarakter



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Bagaimanapun juga, karakter adalah kunci keberhasilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika, 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu, terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient. Bagaimana dengan bangsa kita? Bagaimana dengan penerus orang-orang yang sekarang sedang duduk dikursi penting pemerintahan negara ini dan yang duduk di kursi penting yang mengelola roda perekonomian negara ini? Apakah mereka sudah menunjukan kualitas karakter yang baik dan melegakan hati kita? Bisakah kita percaya, kelak tongkat estafet kita serahkan pada mereka, maka mereka mampu menjalankan dengan baik atau justru sebaliknya?. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Bagi Indonesia sekarang ini, pendidikan karakter juga berarti melakukan usaha sungguh-sungguh, sitematik dan berkelanjutan untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran serta keyakinan semua orang Indonesia bahwa tidak akan ada masa depan yang lebih baik tanpa membangun dan menguatkan karakter rakyat Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada masa depan yang lebih baik yang bisa diwujudkan tanpa kejujuran, tanpa meningkatkan disiplin diri, tanpa kegigihan, tanpa semangat belajar yang tinggi, tanpa mengembangkan rasa tanggung jawab, tanpa memupuk persatuan di tengah-tengah kebinekaan, tanpa semangat berkontribusi bagi kemajuan bersama, serta tanpa rasa percaya diri dan optimisme. Inilah tantangan kita bangsa Indonesia, sanggup?
Theodore Roosevelt mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarat.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    DASAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER

Sebelum berbicara lebih jauh tentang Pendidikan Karakter, Pastikan bahwa anda mengerti terlebih dahulu apasih yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter Bangsa. Untuk menjawab perhal ini, silahkan sobat Belajar membaca postingan saya sebelumnya tentang Pengertian atau Definisi Pendidikan Karakter Bangsa. Kalau sudahm maka mari kita lanjut dengan Dasar Pemikiran mengapa Pendidikan Karakter itu begitu penting. Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Pasal 31 ayat (3) uud 1945 amandemen: “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdas-kan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Undang-undang nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pasal 3: “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
  Uu no. 14/2005 tentang guru & dosen - tugas utama guru :
1.      Mendidik,
2.      Mengajar,
3.      Membimbing,
4.      Mengarahkan,
5.      Melatih,
6.      Menilai dan
7.      Mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (ps.1:1). Mendidik berarti, menanamkan nilai-nilai yang baik menata: hati, pikiran dan sikap mental (harus diawali dari diri sendiri), Mengajar berarti, memberikan pengetahuan/bekal (yang bermanfaat) dalam menghadapi kehidupan, Membimbing berarti, menuntun ke arah tujuan yang telah ditetapkan (harus jelas),    Mengarahkan berarti, menunjukkan kepada pilihan yang terbaik, Melatih berarti, membiasakan peserta didik melakukan sesuatu yang baik secara benar dan melakukan sesuatu yang benar secara baik, Menilai dan mengevaluasi berarti, menghitung dan mengukur proses dan hasil kerja kita, apakah tujuan yang ingin kita raih sudah sesuai/tercapai atau belum. 


B.     PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER
Inilah produk dari pendidikan yang selama ini hanya dipusatkan pada sisi akademis dan kurang memperhatikan sisi karakter. Semua pihak seolah hanya ingin mengejar nilai, rangking atau medali Olimpiade sementara proses pembentukan karakter yang sesungguhnya jauh lebih penting dari prestasi akademis terabaikan. Akibatnya siswa hanya tumbuh menjadi orang yang pintar tapi tidak berkarakter dan ini sangat berbahaya ketika mereka berada di masyarakat. Dengan hanya berbekal kepintaran tanpa ada karakter yang mengendalikannya, tidaklah mengherankan semakin banyaknya terjadi tawuran dan perundungan di sekolah serta semakin masif dan sistematiknya korupsi dan manipulasi diberbagai bidang kehidupan.

1.      Pendidikan Karakter Memiliki Visi Jangka Panjang
Pendidikan karakter merupakan suatu proyek pendidikan jangka panjang karena sesuai dengan makna dari asal katanya, karakter adalah proses untuk mengukir nilai-nilai yang dianggap baik ke dalam hati sanubari siswa. Oleh karena itu, sekali terukir akan butuh waktu yang lama untuk dapat mengubahnya. Karakter tidak sama dengan moral, akhlak, norma atau budi pekerti karena karakter langsung digerakkan oleh otak. Karakter seseorang dapat ditunjukkan oleh bagaimana dia bersikap ketika dia tahu tidak ada seorangpun yang melihatnya. Sikap ini akan bersifat otomatis karena langsung digerakkan oleh otak. Selain itu, faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah adalah beratnya beban kurikulum yang ada saat ini. Dengan banyak jumlah mapel yang ada saat ini dapat dipahami bagaimana sulitnya guru untuk menyediakan waktu untuk pendidikan karakter.



2.      Tiga Peran Seorang Guru
Berbeda dengan materi akademis, dalam mengajarkan pendidikan karakter seorang guru harus memainkan 3 peran sekaligus yaitu: sebagai pemberi perhatian (caregiver), sebagai teladan/panutan (model) dan sebagai pembimbing (mentor). Sangatlah tidak mudah bagi seorang guru untuk dapat memainkan ketiga peran itu dengan baik sehingga dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan. Masalahnya semakin rumit karena sering kali siswa melihat sesuatu yang berlawanan dengan nilai-nilai baik diajarkan di sekolah. Misalnya saat guru Matematika menekankan pentingnya nilai kejujuran tapi yang dijumpai oleh siswa di masyarakat adalah kebalikkanya yaitu makin maraknya para koruptor dan manipulator menguras uang rakyat. Namun bagaimanapun juga, saat ini pendidikan karakter adalah satu-satunya solusi yang bisa membawa kita keluar dari masalah yang kita alami saat ini meskipun kita juga sadar bahwa semuanya ini butuh waktu dan usaha yang tidak mudah. Keterlibatan semua guru dari semua mapel adalah kunci utama untuk keberhasilan melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. Guru harus mengajak siswa untuk menggali nilai-nilai baik yang terkandung dalam setiap mapel. Penekanan pada makna dari suatu mapel terhadap kehidupan sehari-hari adalah kunci yang utama. Dengan memahami makna dari setiap mapel yang diajarkan, seorang siswa dapat memperoleh pemahaman yang utuh dan menyeluruh baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotor sehingga siswa tahu mana yang baik, bisa merasakannya dan pada akhirnya mau melakukannya.

3.      Tak Hanya Pintar, Melainkan Pula Berkarakter

Sebagai penutup perlu ditekankan kembali bahwa tujuan pendidikan bukanlah hanya untuk menjadikan seseorang menjadi pintar tapi juga menjadi baik dan berkarakter. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pendidilan harus mau mengubah tujuan yang semula hanya mengejar nilai akademis sekarang harus memprioritaskan pendidikan karakter. Percayalah untuk membuat seseorang jadi pintar jauh lebih mudah dan cepat dari pada untuk membuat seseorang jadi baik dan berkarakter. Pintar tidaklah cukup tapi harus dilengkapi juga dengan karakter yang baik.






C.    Hakikat daan Tujuan Pendidikan Karakter
1.      Pendidikan
Menurut Purwanto, pendidikan merupakan segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[1] Dari pemaparan tersebut maka diperoleh dua komponen yang saling terikat satu dengan lainnya yaitu orang dewasa dan anak-anak. Bila dianalogikan secara sederhana, seorang dewasa mempunyai peran sebagai sopir yang hendak mengantarkan penumpangnya ke suatu tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan yang bertindak sebagai penumpang di sini adalah anak-anak/siswa yang berhak mendapat pengetahuan dan pengalaman baik yang belum dimiliki maupun telah dimiliki sebagai modal pada proses pendidikan yang bermuara pada proses pembelajaran di suatu lingkup/satuan pendidikan tertentu. Adapun kendaraan yang dikendarai merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan pada proses pendidikan yang hendak dikembangkan (indikator) pendidikan yang hendak dicapai. Adapun muara dari proses pendidikan di sini adalah kedewasaan siswa (peserta didik) yang melaksanakan proses pendidikan dengan bantuan dan pendampingan dari orang dewasa (pendidik).
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi siswa.[3] Usaha sadar berarti bahwa apa yang dilakukan (dalam proses belajar) merupakan rangkaian proses kegiatan yang pada dasarnya merupakan skenario (yang direncanakan oleh perencana/perancang) proses pembelajaran. Usaha sadar juga dapat diartikan bahwa, pada dasarnya siswa menyadari adanya suatu proses perubahan maupun penambahan pengalaman yang terjadi pada proses pendidikan dengan bermuara pada proses pembelajaran pada lingkup tertentu. Sistematis merupakan tahapan pada suatu proses yang akan dijalankan guna pencapaian sebuah indikator ketercapaian.
Dari uraian di atas dapat dipaparkan bahwa pendidikan bukan merupakan suatu hal/isu baru yang terjadi pada proses kehidupan individu pada saat sekarang ini, sejak pertama adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah komunitas, maka di situlah proses pendidikan terjadi. Selama ada sekumpulan individu yang berada pada sebuah komunitas tertentu, maka dapat dipastikan pada komunitas tersebut terjadi proses pendidikan, bahkan secara individu sekalipun proses pendidikan dipastikan terjadi  secara terus-menerus. Proses pendidikan dapat terjadi ketika individu mengalami sebuah kejadian di mana rasa keingintahuannya muncul. Rasa ingin tahu ini muncul ketika individu tidak atau belum mampu memahami suatu peristiwa/pengalaman yang belum pernah dialami sebelumnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu (inquiry) dari dalam dirinya. Berawal dari rasa ingin tahu tersebut, maka proses pendidikan terjadi yang bermuara pada cara mereka untuk mempelajari sesuatu/hal baru  yang belum pernah dialaminya. Dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan pula, setiap individu akan mengalami proses perkembangan dalam hal pengetahuan yang mereka miliki sehingga dari hari ke hari pengetahuan individu pastinya akan bertambah. Pendidikan merupakan cara yang dilakukan untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki individu agar dapat menutupi kekurangan tersebut melalui proses belajar.
Pendidikan merupakan sebuah cara/tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu titik keteraturan yang elegan dan bersifat dinamis. Pendidikan berarti sebuah proses pengembangan diri pada individu untuk mengembangkan bakat,  minat, dan kemampuan baik secara akademis maupun non-akademis yang dikembangkan dalam lingkungan pendidikan, baik secara formal, non-formal, maupun informal.
Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri.[9] Dalam artian ini, banyak hal yang perlu dibicarakan menyangkut pendidikan sebagai proses. Proses pemberdayaan diri menyangkut penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan tingkah laku para siswa yang menjalani proses pendidikan tersebut. Melalui pendidikan, siswa diberikan pengalaman baik yang pernah maupun belum pernah dialami pada proses kehidupan untuk menjadikan manusia yang berdaya guna dan berintelektualitas tinggi secara holistik.
Berdasarkan pemaparan pendidikan yang telah dibahas, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhadap anak (siswa) untuk mencapai satu tujuan tertentu. Paradigma lama menganalogikan pendidikan sebagai sebuah proses instruksional di mana seorang dewasa berusaha memimpin anak (siswa) dalam mencapai proses kehidupan yang lebih baik melalui proses pendidikan itu sendiri. Adapun proses pendidikan yang merupakan paradigma modern merupakan satu bentuk usaha untuk  menjadikan seseorang (siswa) untuk berusaha melalui bimbingan dan bantuan orang dewasa agar dapat memberdayakan diri sesuai minat, bakat, dan sumber daya yang dimiliki.

2.        Karakter
Karakter merupakan bentuk turunan dari bahasa latin yaitu kharassein dan kharax yang dapat diartikan sebagai tools for making (alat untuk membuat  sesuatu).[10] Kata ini mulai marak digunakan dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 yang pada akhirnya diadaptasi ke dalam bahasa indonesia menjadi sebuah kata yaitu “karakter”.[11] Definisi lainnya secara sederhana diungkapkan Hornby dan Parnwell dalam Hidayatullah yang merngartikan karakter sebagai kualitas mental/moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.[12]
Karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi dan tindakan.[13] Stabil merujuk pada satu pola/cara pandang maupun sikap yang merupakan implementasi sebuah ketetapan/konsistensi dalam melakukan dan mengambil keputusan tertentu yang melibatkan cara pikir, pengambilan keputusan, dan melakukan tindakan atas apa yang telah dipikirkan dan diputuskan. Proses konsolidasi yang dilakukan merupakan bentuk implementasi perpaduan antara pergaulan individu dalam lingkup/lapisan sosial tertentu dengan sikap pribadi di mana kemampuan dan keteguhan hati individu diuji untuk menentukan aspek mana yang harus dilakukan dan diputuskan oleh individu tersebut.
Suwondo memberikan pandangan berbeda yang menyatakan bahwa karakter merupakan gabungan dari pembawaan lahir dan kebiasaan yang kita dapatkan dari orang tua dan lingkungan kita, yang secara tidak sadar mempengaruhi seluruh perbuatan, perasaan, dan pikiran kita.[16] Jadi, dapat ditarik satu benang merah yaitu pada dasarnya karakter merupakan satu bentuk implementasi pemikiran dan cara berpikir individu dalam memandang, menentukan, menginterpretasikan, mendeskripsikan, menyimpulkan, dan mengambil suatu tindakan yang terbentuk karena proses kontinuitas secara signifikan melalui proses belajar individu, sosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat maupun individu lain, yang akhirnya membentuk pola pikir dan cara pandang pada masing-masing individu. Karakter dapat dibentuk melalui pembiasaan yang dilakukan melalui implementasi proses kehidupan baik yang disadari maupun yang tidak disadari oleh individu yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter, kecenderungan keterlibatan lingkungan (faktor eksternal individu) memegang peranan penting dalam proses pembentukan karakter seseorang.
Mengimplementasikan dan mengembangkan satu bentuk/tatanan yang merupakan perwujudan proses pendidikan karakter bukan merupakan sebuah proses instan yang terjadi begitu saja dan dapat langsung dilihat hasil dari pendidikan karakter tersebut. Dibutuhkan waktu, tenaga, dan banyak hal lainnya yang saling mendukung untuk membentuk dan mengembangkan tatanan karakter yang baik agar tercipta sebuah generasi yang memiliki pola pikir dan pandangan yang luas dan bijaksana sehingga melahirkan generasi berbudi pekerti luhur serta mampu mengendalikan emosi dengan baik agar tercipta karakter yang kuat bagi individu tersebut.
Berdasarkan paparan definisi karakter, dapat disintesakan bahwa karakter adalah bentuk/perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah. Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada pembentukan karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu dengan lainnya.

3.        Komponen Pendidikan Karakter
Williams dan Megawangi memandang proses pendidikan karakter merupakan proses pembentukan budi pekerti plus yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).[25] Integrasi diantara ketiganya akan menciptakan satu bentuk/tatanan terpadu yang bermuara pada proses pembentukan karakter. Siswa sebagai subyek pendidikan di sekolah perlu diberikan satu pengalaman dan pembelajaran yang mencakup aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan. Dengan modal pengetahuan, siswa dapat memiliki ilmu pengetahuan agar siap digunakan sebagai bekal pada proses kehidupan yang akan dialami di masa yang akan datang. Melalui perasaan, ilmu pengetahuan yang tidak terbatas akan dikendalikan dan dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek emosional. Adapun tindakan yang dihasilkan merupakan perwujudan dari proses pengembangan pengetahuan (cognitive) melalui pertimbangan perasaan (feeling). Secara tersirat dapat diambil satu konsep pemikiran bahwa proses pendidikan yang bermuara pada pembelajaran (baik secara kurikuler, ekstra kurikuler, maupun ko-kurikuler) tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yang melibatkan ketiga aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Ketiganya merupakan satu integrasi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Hal senada dikatakan Munir bahwa kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi karakter seseorang, gen hanya menjadi salah satu faktor penentu saja (bukan hal mutlak dalam penentuan dan penciptaan suatu karakter).[26] Bila disintesakan, apa yang dipaparkan Yahya dengan Munir terdapat satu benang merah bahwa pendidikan karakter akan dapat terlaksana secara optimal bila proses pendidikan yang berafiliasi pada pendidikan karakter dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Melalui pembiasaan inilah, karakter individu terbentuk.
Dapat disintesakan berdasarkan pemaparan Lickona tersebut bahwa ketiga konsep yang membangun karakter seseorang melalui proses pendidikan di atas bukan merupakan komponen yang berbeda dan memisahkan satu dengan lainnya. Ketiganya merupakan satu kesatuan dalam sebuah sistem. Untuk membangun sistem itu sendiri agar kuat dan kokoh diperlukan satu upaya agar ketiga unsur tersebut dapat diimplementasikan dan dilakukan individu pada proses kehidupan mereka, sehingga karakter individu dimaksud dapat terbangun, terpelihara, berkembang, dan kuat.
Pada sumber yang berbeda Lickona dalam Zubaedi menyatakan bahwa karakter berkaitan erat dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action).[30] Berdasarkan ketiga komponen tersebut, daat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan baik. Berdasarkan pembagian karakter dalam tiga komponen oleh Lickona di atas untuk kemudian dikembangkan dalam masing-masing subkomponen sesuai komponen masing-masing. Moral knowing (pengetahuan moral) berhubungan dengan bagaimana seorang individu mengetahui sesuatu nilai yang abstrak yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) moral awareness (kesadaran moral); (b) knowing moral values (pengetahuan nilai moral); (c) perspective-taking (memahami sudut pandang lain); (d) moral reasoning (penalaran moral); (e) decision-making (membuat keputusan); (f) self-knowledge (pengetahuan diri). Moral feeling (sikap moral) merupakan tahapan tingkat lanjut pada komponen karakter yang dijabarkan dalam 6 sub komponen, antara lain: (a) Conscience (nurani); (b) Self-esteem (harga diri); (c) Empathy (empati); (d) Loving the good (cinta kebaikan); (e) Self-control (kontrol diri); (f) Humility (rendah hati). Moral action (perilaku moral) dibangun atas 3 sub komponen antara lain: (a) Competence (kompetensi); (b) Will (keinginan); (c) Habit (kebiasaan).
Secara prinsip, konsep pengembangan karakter dalam satuan pendidikan di Indonesia sendiri berafiliasi pada prinsip pengembangan “olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga”.[34] Olah hati menghasilkan satu sikap dan tindakan untuk berkata, bersikap, dan berperilaku jujur dan apa adanya tanpa menutupi, menambah, dan mengurangi atas sesuatu yang memang harus disampaikan. Olah pikir dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berpikir cerdas dan merasakan haus akan pengetahuan (membutuhkan pengetahuan) baru. Implikasi dari olah pikir ini akan menghasilkan kemampuan inquiry dan bermuara pada prinsip ilmiah bagaimana mencari dan menemukan satu pengetahuan dan pemahaman terkait dengan apa yang sedang dipelajari (bukan diberikan melalui proses pembelajaran secara sistematis dan pasif). Olah rasa merupakan bentuk implementasi dari adanya keinginan siswa untuk berharap dan memiliki cita-cita. Implikasi dari olah rasa mendorong siswa lebih optimis dalam meraih dan mempersiapkan masa depan yang terencana dan dipersiapkan dengan baik oleh siswa itu sendiri (bukan orang tua, guru, lingkungan, maupun komponen lainnya yang berhubungan dengan siswa). Olah raga merupakan merupakan operasional yang dilakukan untuk senantiasa menjaga kondisi tubuh dan stamina agar siswa dapat melaksanakan proses persiapan meraih cita-cita dan tujuan yang telah direncanakan (olah rasa) sehingga siswa lebih mudah memperhatikan keempat aspek yang memang sangat berpengaruh satu dengan lainnya.
Berdasarkan pemaparan mengenai pendidikan karakter beserta komponen pembangunnya, maka dapat disintesakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhada anak (siswa) untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai rencana yang dibuat sebelumnya dengan merujuk pada satu perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah. Hasil pembiasan akan menciptakan satu nilai yang bermuara pada pembentukan karakter masing-masing individu yang membedakan satu individu dengan lainnya. Adapun komponen pembentuk karakter itu sendiri terdiri atas: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

4.        Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
               Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya pada saat ini diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud antara lain takwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun. Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung Jawab. Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

D.    PENDEKATAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pendekatan Pendidikan Karakter, Strategi, Tahap Pelaksanaan, Metode dan Keyakinan Dasar PK >> Dalam menerapkan atau mengimplementasikan Pendidikan Karakter Bangsa di sekolah, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan persiapkan guna mencapai tujuan utama dari Pendidikan Karakter itu sendiri. 
Kita akan memulai dengan Pendekatan Pendidikan Karakter, Strategi yang diperlukan dalam penerapannya, Tahap Pelaksanaan dan metode-metode yang diperlukan selama proses pengintegrasian PK.

1)        Pendekatan PK
 Diperlukan beberapa pendekatan agar PK dapat berjalan dengan baik nantinya yang diantaranya adalah:
a)      Keteladanan
b)      Kegiatan
c)      Penugasan (pendampingan)
d)     Pembiasaan
e)      Ko-kreasi (keterlibatan aktif siswa)
ciri-cirinya:
·         melibatkan secara aktif kepala  sekolah, guru, siswa, dan orang tua
·         hubungan subyek-subyek
·         belajar bersama
·         proses yang baik untuk menjamin  hasil yang baik


2)        Strategi implementasi PK
    Melakukan sesuatu jangan diawali dengan hal yang besar karena hanya akan menambah beban. Mulailah dengan hal yang sederhana dan merasakan bahwa Penerapan PK di sekolah adalah hal yang menyenangkan. Berikut beberapa strategi yang diperlukan:
·         Kegembiraan baru, bukan beban baru
·         Mulai dengan yang mudah, murah dan mengembirakan
·         Mulai dari diri sendiri
·         Berbagi dan berbagi
·         Apresiasi dan apresiasi

3)         Tahap pelasanaan di lapangan
·         Mencerahkan dan  menguatkan keyakinan
·         Mengembangkan gagasan bersama-sama
·         Menyusun rencana tindakan
·         Implementasi rencana tindakan
·         Mengamati perubahan

4)        Metode-Metode yang mungkin diperlukan
Multi metode, terutama yang menyentuh hati. Karena sesungguhnya pendidikan karakter adalah mengelola hati.
  Contoh-contoh kegiatan :
1.      Merumuskan dan mewujudkan ciri-ciri kelas yang dibanggakan
2.      Membangun harapan & komitmen siswa
3.      Merumuskan profil manusia berkarakter
4.      Menyusun dan melaksanakan pedoman perilaku


5)        Keyakinan Awal dan Akhir
Untuk melangkah, kita harus terlebih dahulu memiliki keyakinan yang teguh guna menuntuk kita dalam menerapkan PK di kelas kita, diantaranya kita harus yakin bahwa:
·         Pada dasarnya, anak itu baik & memiliki potensi kebajikan.
·         Potensi itu akan tumbuh dan berkembang jika dipupuk & dipelihara.
·         Pemupukan & pemeliharaan potensi itu akan efektif bila dilakukan melalui: keteladanan, pendidikan, pendampingan dan pembiasaan.
*      Jadi kalau ada anak/peserta didik yang tidak baik, pasti ada yang salah (something wrong). Dengan memiliki Keyakinan yang teguh, maka kita akan dapat mengarahkan diri sendiri dan siswa nantinya.
*       
*       
E.     CIRI DASAR, SASARAN, DAN BASIS DESIN PENDIDIKAN KARAKTER

1.        Ciri Dasar
Ada sebuah kata bijak mengatakan, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh. Sama juga artinya bahwa pendidikan kognitif tanpa pendidikan karakter adalah buta. Hasilnya, karena buta tidak bisa berjalan, berjalan pun dengan asal nabrak. Kalaupun berjalan dengan menggunakan tongkat tetap akan berjalan dengan lambat. Sebaliknya, pengetahuan karakter tanpa pengetahuan kognitif, maka akan lumpuh sehingga mudah disetir, dimanfaatkan dan dikendalikan orang lain. Jadi, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Ada 4 (empat) ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster.
Pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.             
Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic atau dasar dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.                      
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis dan kognisinyan (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anakdidik. Berpijak pada 4 (empat) ciri dasar pendidikan karakter di atas, kita bisa menerapkannya dalam pola pendidikan yang diberikan pada anak didik. Misalanya, memberikan pemahaman sampai mendiskusikan tentang hal yang baik dan buruk, memberikan kesempatan dan peluang untuk mengembangkan dan mengeksplorasi potensi dirinya serta memberikan apresiasi atas potensi yang dimilikinya, menghormati keputusan dan mensupport anak dalam mengambil keputusan terhadap dirinya, menanamkan pada anak didik akan arti keajekan dan bertanggungjawab dan berkomitmen atas pilihannya. Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar, juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter. Dengan begitu, generasi-generasi Indonesia nan unggul akan dilahirkan dari sistem pendidikan karakter.

2.        Sasaran Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter tidak hanya bisa diberikan di sekolah tapi di lingkungan keluarga juga ikut berperan. sebagai orang tua bisa memberikan contoh keteladanan kehidupan bermasyarakat atau mengikut sertakan anak dalam pendidikan Agama yang berada di masyarakat.
Pendidikan karakter sebaiknya diberikan sejak dini, Karena anak usia 0 - 6 tahun Otak berkembang sangat cepat hingga 80%. Pada usia tersebut Otak menerima dan menyerap informasi tidak dilihat baik dan buruknya. Itulah masa masa dimana perkembangan fisik, mental dan spiritual anak mulai terbentuk. banyak yang menyebut masa masa tersebut masa emas ( golden age ). Oleh kerena itu sebagai orang tua kita harus memberikan pendidikan karakter yang baik bagi anak, kadang sebagai orang tua kita tidak sadar bahwa sikap kita pada anak justru akan menjatuhkan anak tersebut, contohnya : Dengan memukul, memberikan pressure yang akhirnya menjadikan anak bersikap negatif, rendah diri atau minder, penakut dan tidak berani menanggung resiko. Dan karakter karakter tersebut akan dibawa hingga dewasa.
   Karakter akan terbentuk dari 3 hasil  pemahaman hubungan yang pasti dialami setiap manusia, yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dengan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan pemahaman yang akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman yang negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya secara positif.
   Keteladanan dari orang tua untuk membentuk karakter anak sangatlah penting, karena anak lebih suka meniru dari sikap orang tuanya dikarenakan waktu berkumpul anak dengan orang itu lebih banyak dari pada mendapatkan dari pendidikan formal, sedangkan kalau dari pendidikan formal biasanya bersifat teori, tentunya tidak bisa menjadi contoh dalam lingkungan sosial. Pendidikan karakter merupakan salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, di dengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan yang muncul yang diindentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap pesertadidiknya.
  
            Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat.         Apapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, dan kebijakan sekolah.

3.      BASIS DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER

               Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter di sekolah hanya menjadi wacana semata. Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan peserta didik yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas (pemerintah). Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan bukan merupakan suatu hal/isu baru yang terjadi pada proses kehidupan individu pada saat sekarang ini, sejak pertama adanya individu yang berkumpul menjadi sebuah komunitas, maka di situlah proses pendidikan terjadi.Sedangkan karakter adalah sikap pribadi yang stabil hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi dan tindakan. pendidikan karakter dalam penelitian ini adalah suatu usaha sadar, terencana, dan terpadu yang dilakukan seorang dewasa terhada anak (siswa) untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai rencana yang dibuat sebelumnya dengan merujuk pada satu perwujudan seseorang yang dapat dilihat dan diamati oleh orang lain melalui proses sosialisasi dan komunikasi antar individu yang tercipta dari pembawaan dan pembiasaan dari masing-masing individu dalam ruang lingkup kejadian yang dialami individu tersebut baik di lingkungan sosial, keluarga, maupun sekolah.
B.     Saran-Saran
Keterpaduan Pendidikan Karakter adalah kegiatan pendidikan. Pendidikan Karakter diharapk menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya Lingkungan sekolah yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang positif. Guru harus disiplin lebih dulu siswa pasti akan mengikuti disiplin





DAFTAR PUSTAKA

http://wartalambar-online.blogspot.com/2011/09/pendidikan-karakter-untuk-siapa.html
Puskur.2009.Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa. Bandung : Pedoman Sekolah.

1 komentar:

  1. Betguru Tips Of The Day jeetwin jeetwin 온라인카지노 온라인카지노 765Find nearest casino to me with slot machines

    BalasHapus